JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit kebenaran data penerimaan negara dari program hilirisasi nikel. Mulyanto menilai klaim pemerintah terjadi kenaikan penerimaan negara dari Rp15 triliun menjadi Rp350 triliun sangat janggal dan meragukan.
Ia menduga angka tersebut bukan penerimaan negara melainkan total nilai ekspor nikel oleh perusahaan smelter asing yang ada di Indonesia. "BPK harus dapat memastikan berapa nilai penerimaan negara sebenarnya dari program hilirisasi nikel. Sebab angka yang disampaikan Pemerintah terlalu bombastis dan tidak masuk akal, " kata Mulyanto kepada Media melalui pesan singkatnya, Jumat (14/10/2022).
Ia juga minta pemerintah tidak main-main soal akurasi data penerimaan negara ini. Sebab angka ini akan mempengaruhi laporan keuangan negara. Oleh karenanya Ia berharap pemerintah transparan dan dapat menjelaskan besarnya penerimaan negara dari hilirisasi nikel agar masyarakat tidak salah tafsir.
"Jangan-jangan angka itu bukan penerimaan negara namun sekedar angka ekspor nikel yang dilakukan oleh industri smelter asing, yang keuntungannya terutama dinikmati oleh investor smelter tersebut. Dan sama sekali, bukan merupakan penerimaan negara. Ini kan beda jauh tafsirnya, " ujarnya.
Baca juga:
Saiful Chaniago: IUP Ormas Tidak Patut
|
Ditambahkannya, Pemerintah perlu menjelaskan soal ini secara gamblang. Dari sumber apa penerimaan negara tersebut berasal. Karena, selama ini industri smelter bebas dari pajak ekspor atau bea keluar. Penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi (NPI) akan berlaku pada tahun 2022. Itu pun baru rencana.
"Sementara mereka juga mendapat insentif pembebasan pajak atau tax holiday (pph badan) selama 25 tahun. Tidak pula membayar pajak pertambahan nilai (ppn). Dan karena tidak menambang dan hanya membeli ore dari penambang dengan harga murah, maka industri smelter tidak membayar royalti tambang sepeserpun, " tambah Pak Mul, begitu Mulyanto biasa disapa.
Bahkan, lanjutnya, Pekerja yang didatangkan dari luar negeri ditengarai tidak menggunakan visa pekerja, melainkan berstatus turis, dan merupakan tenaga kerja kasar. Hal ini kembali menggerus penerimaan negara. "Jangan-jangan dengan fasilitas insentif fiskal dan non-fiskal yang super mewah untuk program hilirisasi nikel yang ada ini malah merugikan kas keuangan negara, " katanya.
Karena itu Politisi Fraksi PKS ini mendesak Pemerintah melakukan evaluasi komprehensif program hilirisasi nikel ini sebelum berlanjut pada hilirisasi tambang lainnya seperti timah dan bauksit.
"Harus clear dahulu road map tahapan industri dan produk hilirisasinya, sehingga diharapkan benar-benar tumbuh industri dengan nilai tambah tinggi dan dengan multiplier effect yang besar bagi masyarakat. Jangan sekedar hilirisasi yang menjadi subordinat proses industrialisasi di Cina, yang mengeskpor produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah, " pungkasnya.
Untuk diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyampaikan dalam Peresmian Pembukaan Investor Daily Summit 2022, Selasa (11/10/2022), bahwa hilirisasi industri mampu meningkatkan hasil ekspor Indonesia. Dia mencontohkan, nilai ekspor komoditas nikel bertambah dari Rp15 triliun menjadi Rp360 triliun setelah proses hilirisasi.
Menurutnya RI ketiban durian runtuh hingga mencapai Rp 360 triliun melalui hilirisasi nikel menjadi barang bernilai tambah. Oleh karena itu, untuk mengulang kesuksesan pelarangan ekspor nikel. Kelak, Presiden Jokowi juga akan melarang kegiatan ekspor timah, bauksit hingga tembaga. (ayu/aha)